//
you're reading...
Ekonomi Islam

Mudharabah Musytarakah: Upaya Memperkecil Dominasi Fixed-Income Financing

Paper ini ditulis bersama Hendro Wibowo dan disampaikan pada Kolokium Nasional Sistem Keuangan Islam III School of Business Management – Institut Teknologi Bandung (SBM ITB), August, 14th 2010

Abstrak

 Fakta menjelaskan bahwa pembiayaan dengan pendapatan tetap (fixed-income financing) masih menjadi pilihan dalam aplikasi produk keuangan Islam. Konsep mudharabah dan musyarakah (profit and loss sharing) sebenarnya dapat memberikan tingkat keuntungan (return) yang lebih tinggi. Namun, kondisi sekarang masih sulit dilaksanakan karena penuh dengan resiko dan ketidakpastian salah satunya adalah masalah keagenan (agency problem) seperti potensi moral hazard yang timbul akibat ketimpangan informasi (information asymmetry) dan adverse selection.

Diantara solusi dan rekomendasi yang ditawarkan untuk meminimalkan potensi masalah yang ada dalam implementasi akad bagi hasil tersebut diantaranya adalah: Pertama, bahwa pemilik dana harus mendesain suatu incentive payment yang dapat mendorong mudharib melakukan tindakan terbaik dari sudut pandang pemilik modal. Kedua, untuk menerapkan mudharabah secara murni dan ideal langkah yang bisa dilakukan secara bertahap adalah mengimplementasi akad mudharabah musytarakah, dimana selain mudharib menerima dana atau modal dari pemilik dana, yang bersangkutan juga mengikutsertakan sebagian modalnya dalam operasional suatu usaha yang dijalankan. Keterlibatan ini mendorong mudharib untuk mempunyai rasa memiliki terhadap usaha, berupaya semaksimal mungkin meningkatkan kinerja agar modal usaha termasuk modal sendiri tidak berkurang akibat terjadinya kerugian.

Kata kunci: Mudharabah-Musytarakah; Fixed-Income Financing; Profit-Loss Sharing

1.        Pendahuluan/Latar Belakang

Fakta menjelaskan bahwa pembiayaan dengan pendapatan tetap (fixed-income financing) masih menjadi pilihan dalam aplikasi produk keuangan Islam. Hal ini disebabkan karena memberikan keuntungan yang telah disepakati diawal, tetap dan berkelanjutan. Selain itu, tidak mensyaratkan banyak upaya untuk melakukan pengawasan dan resiko gagal bayar yang relatif lebih kecil dibanding dengan akad bagi hasil (Ismal, 2010: 3-4). Berdasarkan data statistik yang dirilis Bank Indonesia per Maret 2010, pembiayaaan dengan murabahah mendominasi sekitar 56,31%. Tak jauh berbeda, penerbitan sukuk pun juga menggunakan akad yang memberikan pendapatan tetap yaitu sale and lease back. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Negara lain yang juga fokus dengan dengan aplikasi instrumen keuangan Islam menunjukkan gejala yang sama. Per September 2008, data yang dikeluarkan oleh IFIS menunjukkan bahwa penerbitan sukuk di berbagai negara di dunia berdasarkan klasifikasi akad yang digunakan, akad ijarah, murabahah, BBA, salam, dan istishna  mendominasi sekitar 43%. Sementara akad dengan basis bagi hasil seperti mudharabah dan musyarakah hanya sekitar 23%.

Konsep mudharabah dan musyarakah sebenarnya dapat memberikan tingkat keuntungan (return) yang lebih tinggi dibandingkan dengan murabahah, berdasarkan pengalaman yang terjadi di lapangan dimana yield pembiayaan bagi hasil untuk investasi akan kecil pada bulan-bulan dan tahun pertama, selanjutnya akan meningkat sejalan dengan perkembangan usaha. Sedangkan yield pembiayaan bagi hasil untuk modal kerja dapat diperoleh langsung dalam tingkat yang tinggi karena dana pembiayaan bank syariah segera ikut serta dalam proses income generation.  Berdasarkan data statistik yang dirilis Bank Indonesia per Maret 2010 pembiayaan modal kerja dari tahun ke tahun berkurang, tercatat Maret 2010 49.4% menurun dibandingkan periode dan tahun yang sama 52.3% Maret 2009 dan 55.2% Maret 2010. Namun, pembiayaan investasi lebih cenderung stabil mulai Maret tahun 2008 sebesar 12.08%, Maret 2009 sebesar 10.50% dan Maret 2010 sebesar 11.01%.

Karakteristik pembiayaan bagi hasil modal kerja berjangka pendek adalah: perputaran dananya lebih cepat, likuid, risiko usaha lebih predictable, quick yielding, tetapi harus terus-menerus aktif mencari projek pengganti akibat penurunan dan pelunasan plafond pembiayaan agar pendapatan usaha tidak turun dan berfluktuatif. Sedangkan karakteristik pembiayaan bagi hasil investasi jangka panjang, perputaran cash flow lebih lambat, risiko usaha lebih unpredictable, tetapi bila projeknya bagus, maka akan diperoleh sumber pendapatan yang lebih stabil dan kontinyu.

Dilihat dari penjelasan diatas sangat optimis mengingat semangat utama bank syariah adalah spirit untuk berbagi risiko dengan nasabahnya berlandaskan prinsip kesetaraan dan keadilan. Substansi utama implementasi ekonomi Islam adalah basis bagi hasil (profit and loss sharing). Aplikasi akad mudharabah dan musyarakah seharusnya mendapat perhatian yang lebih serius dibanding akad yang lain. Kedua akad ini lebih mewakili implementasi semangat ekonomi Islam.

Tetapi semangat dan substansi ini cukup susah untuk diimplementasikan baik dalam keuangan maupun aktifitas ekonomi secara umum. Banyak faktor dan kendala yang menyebabkan hal tersebut baik yang bersumber dari karakteristik yang melekat dengan akad mudharabah dan musyarakah maupun faktor luar yang terkait dengan pihak-pihak yang terlibat dalam aplikasi saat ini. Karakteristik berbagi untung dan resiko baik resiko keuangan maupun resiko non keuangan, faktor kesiapan pelaku untuk menangung resiko, masalah keagenan (agency problem) seperti potensi moral hazard yang timbul akibat ketimpangan informasi (information asymmetry) dan adverse selection adalah diantara faktor dimaksud (Sarker, 1999: 9-10 mengutip Mills and Presley: 1998, Pryor: 1985, Nienhaus: 1983, Goodhart: 1987; Nadeem U. Haque and Abbas Mirakhor, 1986: 5-6).

Berdasarkan hasil penelitian dari Mustafa Edwin Nasution dan Ranti Wiliasih (2007) dalam penelitiannya yang berjudul “Profit Sharing dan Moral Hazard dalam Penyaluran Dana Pihak Ketiga Bank Umum Syariah di Indonesia” seperti yang dikutip Hendrie dan Setyowati (2008: 5-6) ditemukan adanya peningkatan kredit macet di BMI karena kurang kewaspadaan terhadap alokasi pembiayaan mudharabah yang yang disebabkan oleh indikasi moral hazard dari nasabah pembiayaan.

Diantara solusi dan rekomendasi yang ditawarkan untuk meminimalkan potensi masalah yang ada dalam implementasi akad bagi hasil tersebut diantaranya adalah: Pertama, bahwa pemilik dana harus mendesain suatu incentive payment yang dapat mendorong mudharib melakukan tindakan terbaik dari sudut pandang pemilik modal (Varian, 1992 seperti dikutip oleh Tarsidin, 2006: 60-61) seperti memberikan bonus atas kinerja mudharib, menerapkan pencadangan dan penyisihan terhadap keuntungan yang diperoleh (Sarker, 1999: 9-10; Nadeem U. Haque and Abbas Mirakhor, 1986: 5-6).

Kedua, untuk menerapkan mudharabah secara murni dan ideal langkah yang bisa dilakukan secara bertahap adalah mengimplementasi akad mudharabah musytarakah, dimana selain mudharib menerima dana atau modal dari pemilik dana, yang bersangkutan juga mengikutsertakan sebagian modalnya dalam operasional suatu usaha yang dijalankan. Keterlibatan ini mendorong mudharib untuk mempunyai rasa memiliki terhadap usaha, berupaya semaksimal mungkin meningkatkan kinerja agar modal usaha termasuk modal sendiri tidak berkurang akibat terjadinya kerugian. Masalah keagenan berupa moral hazard bisa diminimalisir dengan aplikasi karakteristik dari akad mudharabah musytarakah tersebut. Akad ini bisa memberikan edukasi kepada para pihak untuk menerapkan dan memilih akad bagi hasil dalam usaha. Lebih lanjut, akad ini menjadi suatu upaya untuk mengurangi dominasi aplikasi akad yang memberikan pendapatan tetap baik di dunia keuangan maupun aktifitas ekonomi berbasis sektor ril lainnya.

2.        Perumusan Masalah

Wujudnya moral hazard dan adverse selection sebagai akibat dari ketimpangan informasi atau yang dikenal dengan masalah agency dalam akad bagi hasil adalah suatu faktor yang menyebabkan akad ini kurang diminati untuk diaplikasikan dalam proyek bisnis. Standar moral, ketidakefektifan model pembiayaan bagi hasil, intensitas keterlibatan pemilik modal dan pengaruhnya terhadap pengambilan keputusan, faktor biaya tambahan, teknis pelaksanaan, kurang menariknya sistem bagi hasil dalam aktivitas bisnis dan permasalahan efisiensi adalah diantara faktor dan kendala dari praktek mudharabah di dunia bisnis (Saeed, 2004: 106-109).

Berdasarkan masalah diatas, maka pertanyaan penelitian yang diajukan dalam rumusan masalah ini adalah Bagaimana kemungkinan implementasi mudharabah musytarakah untuk meminimalkan masalah yang terjadi dalam aplikasi mudharabah murni?

3.        Metodologi

3.1.       Desain Penelitian

Desain penelitian ini menggunakan desain eksploratif. Emory (1995) mengungkapkan dua bidang telaahan studi dengan desain eksploratif, salah satunya yaitu literatur (literatur survey) yang bertujuan untuk menemukan teori, konsep, variabel dan lainnya (Husein Umar, 2008: 33). Penelitian ini merupakan penelitian awal dengan melakukan eksplorasi dan mengidentifikasi aspek-aspek yang perlu dipertimbangkan oleh shahibul maal (bank syari’ah) dalam memilih proyek dan mudharib serta teknik-teknik yang tepat untuk penyeleksian atribut proyek dan atribut mudharib sehingga dapat digunakan untuk meminimalisasi masalah agency. Selanjutnya, dilakukan analisis model kontribusi dari masing-masing aspek (variabel) terhadap pengurangan masalah agency. Dengan demikian, penelitian ini akhirnya dapat dijadikan untuk melakukan pemecahan masalah (problem solving) dalam praktek pembiayaan mudharabah di bank syari’ah.

3.2.       Metode Pengumpulan Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data yang digunakan untuk mengumpulkan data primer adalah metode wawancara dengan teknik in-depth interview, ditujukan kepada praktisi perbankan syariah dan tokoh-tokoh ekonomi Islam yang memahami tentang konsep perbankan syariah, teknik dimaksudkan untuk menggali data kualitatif. Kemudian metode pengumpulan data yang digunakan untuk mengumpulkan data sekunder adalah riset kepustakaan (library research) merupakan dokumentasi dari tinjauan menyeluruh terhadap karya publikasi dan nonpublikasi dari sumber sekunder dalam bidang minat khusus bagi peneliti (Sekaran, 2006: 82). Penelitian ini menggunakan metode dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data tentang masalah agency dalam kontrak mudharabah.

4.        Analisa

Beberapa penelitian sebelumnya mengidentifikasi masalah-masalah yang wujud dalam kontrak berbasis bagi hasil baik dalam konsep maupun aplikasi di industri. Berikut adalah ringkasan penelitian dimaksud.

No

Peneliti (tahun, judul)

Hasil

1

Nadeem U. Haque and Abbas Mirakhor. (1986). “Optimal Profit-sharing Contracts and Investment in an Interest-Free Islamic Economy,” International Monetary Fund

Masalah agensi dalam bagi hasil akan tinggi jika mekanisme insentif tidak ada dan minimnya monitoring. Tetapi dengan berjalannya waktu, setelah interaksi kerjasama yang lama, akan memberikan efisiensi, menekan moral hazard, dan rendahnya biaya monitoring

2

Abdullah Saeed.(2004). Menyoal Bank Syariah: Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Noe Revivalis. Jakarta: Paramadina

Aplikasi kontrak bagi hasil di perbankan tidak sesuai dengan mudharabah murni. Masalah aplikasi bagi hasil adalah standar moral, ketidakefektifan model pembiayaan bagi hasil, intensitas keterlibatan pemilik modal dan pengaruhnya terhadap pengambilan keputusan, faktor biaya tambahan, teknis pelaksanaan, kurang menariknya sistem bagi hasil dalam aktivitas bisnis dan permasalahan efisiensi.

3

Sarker, Md. Abdul Awwal, (1999). “Islamic Business Contracts, Agency Problem and the Theory of the Islamic Firm,” International Journal of Islamic Financial Services Vol. 1 No.2 July – Sept. 1999

PLS adalah kelebihan bank syariah dalam alokasi resiko secara optimal, tetapi aplikasinya ditemukan masalah agensi yang muncul dari ketimpangan informasi dan biaya pengawasan. Diantara masalah dimaksud adalah (1) kesulitan mendapatkan informasi memadai tentang kualitas proyek yang akan dibiayai; (2) potensi mudharib untuk melaporkan biaya lebih tinggi; (3) wujudnya moral hazard dan adverse selection menjadi halangan untuk kompetitif dengan bank konvesiona.

Solusi yang ditawarkan adalah (1) Akomodasi persyaratan moral dalam kontrak yang dibuat; (2) memberikan insentif berupa reward financial kepada mudharib atas kinerja selain factor keimanan: (3) adanya mekanisme insentif; (4) melibatkan mudharib dalam kepemilikan projek; (5) Hubungan baik karena interaksi yang lama dan berulangnya kerjasama; (6) mekanisme yang berkala.

4

Humayon A. Dar and John R. Presley. (2000). “Lack of Profit Loss Sharing in Islamic Banking: Management and Control Imbalances,” International Journal of Islamic Financial Services, Vol. 2 No.2

Ketidakseimbangan manajemen (proyek) dan mekanisme kontrol adalah factor utama penghalang aplikasi kontrak bagi hasil secara optimal. Tetapi, sejatinya tidak ada alasan untuk mengklaim bahwa PLS menciptakan in-efesiensi. Dalam kondisi tertentu, PLS adalah kontrak yang sangat dibutuhkan dalam perekonomian. Sebagai solusi dari masalah tersebut, dibutuhkan adanya institusi independen seperti Venture Capital Organization (VCO) sebagai wakil dari bank-bank sebagai manajer dan fungsi kontrol.

5

Ascarya dan Diana Yumanita. (2005). “Mencari Solusi Rendahnya Pembiayaan Bagi Hasil di Perbankan Syariah Indonesia,” Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juni 2005

Masalah rendahnya pembiayaan bagi hasil di Indonesia disebabkan oleh faktor internal bank, nasabah, regulasi, dan pemerintah. Alat analisis yang digunakan untuk mengolah data yang diperoleh dari FGD adalah Analytic Network Process (ANP).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keempat masalah tersebut mengerucut ke dua masalah yaitu internal bank terkait kurangnya pemahaman dan kualitas SDI perbankan syariah dan masalah kurangnya regulasi yang mendukung.

Alternatif pemecahan yang diusulkan adalah meningkatkan pemahaman dan kualitas SDI serta meninjau kembali regulasi yang dirasa memberatkan, seperti aturan kolektibilitas, dan membuat aturan-aturan yang bersifat memberikan insentif untuk meningkatkan penyaluran pembiayaan bagi hasil. Sementara itu, strategi kebijakan yang dianggap paling tepat untuk menyelesaikan masalah-masalah di perbankan syariah adalah dengan menerapkan directed market driven strategy, dimana aturan-aturan yang dibuat bersifat mengarahkan perbankan syariah agar berjalan pada rel syariah yang benar menuju arah perkembangan yang diinginkan.

Merangkum dari hasil penelitian diatas, terkait masalah-masalah yang dihadapi dalam aplikasi kontrak bagi hasil (mudharabah dan musyarakah) dan solusi yang ditawarkan, akan dilakukan analisis terhadap akad kombinasi dari mudharabah dan musyarakah atau yang disebut dengan akad mudharabah musytarakah. Kombinasi ketentuan dan fleksibilitas yang wujud dari kedua konsep tersebut diharapkan bisa menjadi satu solusi lain untuk meminimalkan masalah-masalah aplikasi kontrak bagi hasil.

Analisis ini difokuskan pada 7 poin masalah yang dikemukakan oleh Abdullah Saeed terkait permasalahan aplikasi kontrak bagi hasil. Semua poin ini dianggap mewakili dan merangkum dari semua masalah yang diidentifikasi oleh penelitian-penelitian lainnya. Masalah-masalah dimaksud adalah standar moral, ketidakefektifan model pembiayaan bagi hasil, intensitas keterlibatan pemilik modal dan pengaruhnya terhadap pengambilan keputusan, faktor biaya tambahan, teknis pelaksanaan, kurang menariknya sistem bagi hasil dalam aktivitas bisnis dan permasalahan efisiensi.

Konsep mudharabah menjelaskan bahwa modal mudharabah harus dalam bentuk uang untuk mencegah terjadinya perselisihan dan memenuhi maksud mudharabah. Mudharabah harus jauh dari semua bentuk kewajiban (utang). Mudharib juga dibolehkan oleh mencampurkan modal sendirinya dalam proyek. Dalam konteks mudharabah muqayyadah, pemilik modal boleh menentukan sektor bisnis dan ketentuan terkait manajemen seperti yang dipraktekkan Ibn Abbas yang mensyaratkan mudharib untuk tidak menuruni lembah dan mengarungi lautan. Dalam konsep umum, pemilik modal tidak boleh campur tangan dalam manajemen dan harus memberikan kebebasan kepada mudharib. Ketentuan dalam hadis Ibn Abbas tidak mengindikasikan campur tangan dari pemilik modal dalam mengambil keputusan bisnis. Pembagian keuntungan didasarkan atas kesepakatan diawal berbentuk nisbah dan kerugian didasarkan pada modal. Dalam mudharabah, juga dimungkinkan adanya penyisihan terhadap keuntungan. Dalam konsep mudharabah, tidak ada batasan tentang jangka waktu kerjasama (Ayub, 2007: 323-327). Pemilik modal tidak dapat menuntut jaminan apapun dari mudharib atas pengembalian modal dan keuntungan (Saeed, 2004: 81).

Modal dalam kontrak musyarakah harus ditentukan secara jelas dalam satuan moneter. Setiap mitra memiliki kesempatan yang sama dalam mengelola bisnis. Tetapi juga dimungkinkan diantara mitra yang bersifat pasif dan mewakilkan manajemen kepada mitra lain atau mendelegasikan wakil sebagai representasinya di manajemen. Keuntungan dibagikan berdasarkan kesepakatan nisbah yang jelas termasuk mempertimbangkan keterlibatan dalam manajemen dan kerugian dibebankan atas porsi modal. Tidak boleh ada kewajiban salah satu pihak untuk memastikan tidak terjadi kerugian atau adanya profit. Semua mitra berposisi setara. Tetapi permintaan terhadap niat baik untuk tidak melakukan moral hazard dimungkinkan dilakukan. Ini bukan bermaksud menjamin adanya keuntungan. Jangka waktu kerjasama antara mitra adalah kesepakatan (Ayub, 2007: 313-320; Saeed, 2004: 89-92).

Fatwa DSN-MUI No. 50/DSN-MUI/III/2006 menjelaskan kemungkinan aplikasi mudhabarah musytarakah dalam LKS. Ketentuan aplikasi akadnya adalah dimungkinkannya mudharib untuk menyertakan modal sendiri dalam akad mudharabah dan pembagian kentungan bisnis dilakukan untuk basis musyarakah selanjutnya basis mudharabah. Dalam hal terjadi kerugian, LKS menanggung kerugian sebesar porsi modal sebagai mitra syirkah.

Standar moral diduga memang factor penghambat penggunaan PLS. Kondisi sekarang memang jauh berbeda dengan masa Rasulullah. Secara substansi, minimnya kualitas moral ini semestinya tidak digeneralisir. Artinya tingkat antipasti yang berlebihan terhadap semua calon mudharib atau mitra syirkah. Wujudnya kualitas moral ditenggarai karena ketimpangan informasi antara agent dan principal. Maka dengan adanya keterlibatan kepemilikan agent dalam proyek dalam bentuk modal dalam mudharabah musytarakah mendorong agent untuk menumbuhkan rasa memiliki terhadap proyek. Pada akhirnya, meskipun tidak hilang 100%, tetapi permasalahan moral tersebut menjadi minimal.

Mudharabah musytarakah adalah ekstensi dari akad bagi hasil utama (mudharabah dan musyarakah) yang beorientasi untuk investasi sektor ril. Skema mudharabah (terlampir) Penjelasan skema mudhrabah musytarakah, Pertama, kedua belah pihak antara bank syariah dan nasabah melakukan kerjasama dalam proyek atau bisnis. Kedua, dimana kedua belah pihak melakukan kontribusi baik dalam modal maupun sebagai pengelola dalam menjalankan usahanya, bank syariah selaku shahibul maal memberikan dananya dan nasabah selaku mudharib dan juga shohibul maal, karena selain sebagai pengelola nasabah juga melakukan kontribusi dana, walaupun besarannya tidak sama dengan bank syariah. Ketiga, kemudian kontribusi dari kedua belah pihak digunakan untuk menjalankan suatu proyek atau usaha bisnis. Keempat, bisnis berjalan dan apabila mengalami keuntungan, maka hasil keuntungan dibagi kedua belah pihak baik bank syariah maupun nasabah sesuai dengan porsi modal yang diberikan. Kelima, apabila kerjasama tersebut sudah selesai dilaksanakan sesuai dengan jangka waktu yang disepakati, maka nasabah mengembalikan modal pokok bank syariah.

Maka, jika dilihat perkembangan sekarang implementasi untuk pembiayaan konsumtif atau bisnis jangka pendek merupakan suatu inovasi yang dipaksakan. Identifikasi masalah yang diklaim Saeed tentang tidak memadainya PLS untuk memenuhi banyak kebutuhan pembiayaan ekonomi kontemporer dirasa berlebihan. Harus dipahami bahwa implementasi PLS termasuk mudharabah musytarakah adalah suatu yang mubah tidak wajib. Selama memang tidak tepat untuk pembiayaan konsumtif, PLS tidak bias dipaksakan. Masih ada model pembiayaan lain yang lebih sesuai dengan karakteristik bisnisnya.

Aspek keterlibatan pemilik modal akan memperkecil naluri bisnis mudharib juga tidak bisa dinilai umum. Karakteriktik mudharabah musytarakah yang memungkinkan mitra terlibat dalam manajemen bisa menjadi suatu hal yang positif terhadap operasional bisnis. Keterlibatan tersebut bisa secara langsung atau melalui representatif. Dalam skala pembiayaan bisnis mikro, keterlibatan mitra adalah suatu yang positif. Permasalahan manajemen yang masih konvensional dan tradisional dalam usaha mikro bisa ditutupi dengan keterlibatan mitra. Keterlibatan tersebut dapat berbentuk pendampingan usaha dan perluasaan networking. Dalam realitasnya, pemilik modal (dalam hal ini bank syariah) tidak mungkin melakukan intervensi/keterlibatan dalam pengawasan usaha, tetapi yang bisa dilakukan oleh bank syariah adalah melakukan kerjasama dan ini sebagai institusi mitra dalam joint venture atau joint venture syariah dimana perusahaan tersebut dapat memberikan peranan sebagai perusahaan yang professional baik dalam tatakelola manajemen untuk mengawasi, pembinaan dan pendampingan usaha mikro, kecil dan menengah serta besar (nasabah) namun dapat pula berkontribusi dalam hal suntikan pendanaan. Dimana perusahaan ini bisa didirikan secara bersama-sama dari bank syariah. Adapun saham perusahaan tersebut tidak hanya dimiliki oleh bank syariah melainkan juga bisa terbuka bagi institusi yang berkaitan dengan proyek perbankan syariah atau perusahaan investasi secara khusus. Dalam hal kepemilikan saham di perusahaan joint venture syariah, bank sentral dapat berperan dalam mengatur kepemilikan, untuk menghindari mayoritas atau dominan dari salah satu kepemilikan bank syariah sehingga perusahaan tersebut bisa menjadi unit bisnis bersama bank syariah secara keseluruhan dan independensi perusahaan bisa terlaksana. Keterlibatan para pihak dalam join venture syariah tersebut tidak hanya sebatas modal tetapi juga keterlibatan manajemen dalam pengambilan keputusan. Selain itu akses terhadap informasi perkembangan proyek bagi para manajer yang merupakan representasi dari pemegang saham join venture syariah akan meminimalkan terjadinya masalah keagenan. Ditambah lagi dengan mekanisme strategi kontrol yang dibangun dalam join ventura yang melibatkan para pihak (manajer, bank dan perusahaan investasi) dalam pengambilan keputusan bisnis yang strategis. Dalam proyek investasi jangka panjang, mekanisme kontrol ini akan meningkatkan nilai perusahaan.

Masalah biaya tambahan akibat upaya yang lebih untuk mengawasi bisnis diantaranya seperti: biaya pendampingan, monitoring dan tatakelola manajemen yang dibiayai dalam mudharabah musytarakah ditanggung secara bersama. Percampuran antara modal dalam bisnis memberikan konsekuensi akan dinikmati secara bersama termasuk biaya yang dikeluarkan. Sehingga biaya tersebut bisa dibagi antara kedua mitra atau bahkan dengan adanya joint venture syariah pihak nasabah berkontribusi biaya bisa menjadi sangat rendah.

Keterlibatan institusi mitra (joint venture syariah) dalam mudharabah musytarakah dapat meminimalkan permasalahan teknis implementasi di pihak pemilik modal atau nasabah itu sendiri. Karena biaya akan ditanggung secara bersama, maka permasalahan teknis seperti keahlian, pengetahuan tentang bisnis yang dibiayai baik resiko dan operasional serta rendahnya kemampuan nasabah untuk membuat pembukuan akan diselesaikan secara bersama dengan saling melengkapi. Nasabah mengetahui operasional bisnis akan berpadu dengan kemampuan manajerial dan pencatatan mitra akan meminimalkan masalah teknis mudhrabah musytarakah. Ini yang mungkin sulit dalam mudharabah karena biaya akan ditanggung oleh hanya pemilik modal.

Tidak menariknya PLS bagi pengusaha karena akan membuka masalah “dapur” usahanya juga dipandang secara negatif. Keterlibatan mitra bisa dipandang memberikan suatu yang positif memperbaiki kekurangan operasional. Dalam jangka panjang, ini akan menjadi suatu yang positif. Keterlibatan mitra hanya sebatas bisnis yang dijalankan bersama tidak seluruh operasional bisnis yang ada.

Terakhir, masalah efisiensi dalam pelaksanaan mudharabah karena wujudnya resiko investasi, dimana mudharib hanya menanggung resiko sebatas tenaga dan waktu. Maka, dengan pelaksanaan akad mudharabah musytarakah, dimana nasabah dengan kombinasi waktu, tenaga, skill dan modal, maka akan meminimalkan resiko tersebut. Mudharib yang juga mitra kerjasama, akan ikut menanggung resiko keuangan investasi karena adanya kontribusi modal yang juga ditanamkan dalam proyek kerjasama, walaupun besaran tanggungan risiko sesuai dengan porsi modal yang ditanamkan dalam kerjasama bisnis tersebut.

Dalam skala yang lebih masif, penulis sepakat dengan usulan dari Humayon A Dar dan John R Presley (2000) serta yang dikemukakan Muhammad (2005) tentang adanya institusi independen bersifat joint venture capital yang akan membantu implementasi akad bagi hasil disamping usulan dari Ascarya (2005) terkait regulator dan pemerintah dalam konteks aplikasi bagi hasil di industri perbankan.

5.        Penutup/Kesimpulan

Penggunaan akad selain bagi hasil dalam ekonomi Islam memang bukan sebuah aib. Tetapi dominasi akad tersebut akan memunculkan resiko reputasi (reputation risk) terhadap implementasi ekonomi Islam. Dimana pada akhirnya berkembang stigma bahwa ekonomi Islam tidak berbeda dengan konvensional.

Eksplorasi terhadap akad mudharabah musytarakah dan kemungkinan implementasinya menggantikan masalah-masalah yang muncul dari implementasi mudharabah atau musyarakah murni adalah suatu langkah untuk memperkecil dominasi akad berbasis jual beli atau berpendapatan tetap. Impelementasi tersebut diantara dengan membentuk perusahaan join ventura yang membantu aplikasi akad bagi hasil yang efesien.

Referensi

Arifin, Zainul. (2005). Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah. Jakarta: Pustaka Alvabet, Cet.3.

Ascarya. (2004). Identifikasi Masalah Rendahnya Pembiayaan Bagi Hasil di Perbankan Syariah di Indonesia. LPPI bidang Syariah dan Pusat Pendidikan dan Studi Kebansentralan Bank Indonesia.

Ascarya dan Diana Yumanita. (2005). Mencari Solusi Rendahnya Pembiayaan Bagi Hasil di Perbankan Syariah Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. Vol. 8. No. 1

Ayub, Muhammad. (2007). Understanding Islamic Finance. West Sussex: John Wiley & Sons Ltd

Bank Indonesia, (2010). Statistik Perbankan Syariah. Jakarta: Bank Indonesia, per Maret 2010.

Dar, Humayon A. and John R. Presley. (2000). “Lack of Profit Loss Sharing in Islamic Banking: Management and Control Imbalances,” International Journal of Islamic Financial Services, Vol. 2 No.2

DSN-MUI. (2006). “Fatwa DSN-MUI No. 50/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah Musytarakah,” Jakarta: DSN-MUI

Hendrie, MB Anto – Desti Setyowati, (2008). “The Indication of Moral Hazard in Financing: a Comparative Study between Islamic Bank and Conventional Bank in Indonesia 2003:1 – 2007:9,” Makalah disajikan dalam International Seminar and Symposium on Implementations of Islamic Economics to Positive Economics in the World pada tanggal 1 s.d. 3 Agustus 2008 di Universitas Airlangga, Surabaya

Ismal, Rifki, (2010). “Identifying And Mitigating Moral Hazard Problem In Murabahah Financing: Theoretical Approach (Case of Micro and Medium Size Enterprises/MME in Indonesia)” Working Paper Series No. 7/ 2010

Muhammad. (2005). Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syariah: Mudharabah dalam Wacana Fiqh dan Praktik Ekonomi Modern. Yogyakarta: BPFE UGM.

Nadeem U. Haque and Abbas Mirakhor, (1986). “Optimal Profit-sharing Contracts and Investment in an Interest-Free Islamic Economy,” International Monetary Fund.

Saeed, Abdullah. (2004). Menyoal Bank Syariah: Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis. Jakarta: Paramadina

Sarker, Md. Abdul Awwal, (1999). “Islamic Business Contracts, Agency Problem and the Theory of the Islamic Firm,” International Journal of Islamic Financial Services Vol. 1 No.2 July – Sept. 1999

Sekaran, Uma. (2006). Metodologi Penelitian untuk Binis, Edisi Pertama, Jakarta: Salemba Empat.

Tarsidin, Perry Warjiyo, (2006). “Perbankan Syariah dan Perbankan Berdasarkan Bunga: Manakah yang Lebih Optimal?,” Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2006, hlm. 60-61

Umar, Husein. (2008). Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Discussion

One thought on “Mudharabah Musytarakah: Upaya Memperkecil Dominasi Fixed-Income Financing

  1. Reblogged this on Write! and commented:
    Mudharabah Musytarakah, sebuah solusi bagi pembiayaan nasabah perbankan 🙂 Masih dari Ust. Sepky Mardian bersama Ust. Hendro Wibowo, para pakar ekonomi Islam dari STEI SEBI.

    Posted by alimurtadha | April 25, 2013, 5:51 am

Leave a reply to alimurtadha Cancel reply

Hadis hari ini

Rasulullah SAW bersabda: "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya"
February 2013
M T W T F S S
 123
45678910
11121314151617
18192021222324
25262728